Selasa, 02 Februari 2016

Rasa Empati yang Harus Dimiliki


Prestasi dalam diri manusia berbeda-beda. Tingkat inteligensi manusia dapat diukur dan dikembangkan. Prestasi manusia ada yang dibawah rata-rata, sedang, pintar dan jenius. Seseorang yang memiliki prestasi yang dikatakan hampir sempurna belum tentu dibutuhkan untuk menjadi seorang pemimpin bahkan seorang jenderal sekalipun. Penilaian bagi orang yang berprestasi hampir sempurna ini, ternyata adalah kurangnya rasa empati. Empati adalah kemampuan merasakan dalam diri Anda apa yang dirasakan orang lain. Rasa empati akan menjadikan kita orang yang peka terhadap seseorang. Dengan memiliki empati, kita akan terasah untuk memberikan solusi bagi orang lain. Emotional Quotient ini yang dikembangkan bersamaan dengan Intelligency Quotient. Perpaduan  yang hampir sempurna ini akan mejadikan diri kita menjadi bahan promosi atau menjadikan diri kita sebagai sosok pemimpin.

Daniel Goleman di tahun 1995 meyakinkan kita bahwa justru EQ ( Emotional Quotient ) yang memegang peran lebih penting.  Mereka yang memiliki kematangan EQ mampu memecahkan masalah dan mengatasi masalah emosional dan sosial. Saya memiliki pengalaman bekerja dengan seorang Master Science. Pada awalnya saya kurang menerima dengan pekerjaan yang diberikan karena menurut pandangan saya ataupun orang lain yang kurang paham tidak sesuai dengan Strata yang saya terima. Dari pengalaman tersebut, saya mengontrol emosi saya dengan bersabar dan menerima pekerjaan tersebut. Master ini sedang memberikan contoh apa itu IQ dan EQ. Dalam benak saya saat itu pengetahuan akan science benar – benar diuji. Kecerdasan, Nalar, Logika, Daya Ingat, Hitungan, Analisa benar-benar diuji. EQ yang berupa motivasi berprestasi, penempatan diri, empati, kontrol emosi tidak luput dari ujian. Adaptasi saya dengan beliau memang dirasa kurang. Saat saya menyadari bahwa itulah pelajaran untuk EQ  dan IQ saya. Bagaimana saya menalar dan berlogika dan mengontrol emosi saya. Sehingga hasil yang didapatkan adalah memotivasi untuk berprestasi.

Dilain sisi saya mendapatkan untuk mendaki gunung tertinggi saya membutuhkan SQ (Spiritual Quotient) dan AQ ( Adversity Quotient ). Bentuk dari SQ adalah Keseimbangan hidup, karakter diri, Dunia-Akhirat, Jasmani-Rohani, Rasionalitas-Spiritualitas, Kejujuran, Murah hati, Penyayang. Dari pengalaman tersebut karakter diri kita akan dibentuk. Perasaan emosional yang saya hadapi hampir setiap hari. Saya tuangkan kepada Tuhan baik dalam perjalanan pergi atau perjalanan pulang. Jangan membedakan kasih sayang kepada orang lain. Bahkan menurut penilaian orang, intelligensi saya dalam menghitung diragukan. Kejujuran saya kurang adalah bahwa, jelas sekali saya mendapat gangguan berupa suara-suara. Menurut logika dan nalar suara-suara itu memang tidak ada.

Dalah hal AQ yang berupa kegigihan, semangat tinggi, Endurance, Pantang Menyerah, Quitters, Campers,Climbers. Dalam hal ini Adversity Quitient kriteria sebagai climbers paling dicari untuk menjadi orang yang paling depan. Tipikal climbers tidak mudah putus asa dan tidak takut akan tantangan yang dihadapi. Ia tidak merasa cepat puas diri, ia dapat melanjutkan perjuangannya sampai ia meraih apa yang diinginkan. Tidak dapat dipungkiri kegagalan dapat dialaminya, tetapi ia akan bangkit lagi sampai menuju puncak. Saya ingin mencontohkan climbers ini, kegagalan yang pernah terjadi tidak akan membuat saya putus asa. Jawaban kegagalan adalah ketidakmampuan atau ketidakmauan yang akan menjadikan diri saya the quitters.

 

Sumber referensi : Dale Carneige Training & MHMMD

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menghindar Keramain Kota,Dusun Bambu Bandung Aja

Bandung memang terkenal sebagai tujuan wisata yang menjadi pilihan pelancong di akhir pekan. Kita bisa wisata kuliner, wisata agro, wisata p...