Di Indonesia, sertifikat hak-hak atas tanah berlaku sebagai alat bukti yang kuat sebagimana ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA dan pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran Tanah, yang kini telah dicabut dan ditegaskan kembali dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.
Fungsi dari sertifikat tanah adalah :
- Memberikan kepastian hukum kepemilikan tanah bagi orang yang namanya tercantum dalam sertifikat,
- Sertifikat sebagai pencegah sengketa pemilikan tanah,
- Pemilikan sertifikat,pemilik tanah dapat melakukan perbuatan hukum apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.
Meskipun telah mendapat pengakuan dalam UUPA, sertifikat belum menjamin kepastian hukum pemilikannya karena dalam peraturannya sendiri memberi peluang di mana sepanjang ada pihak lain yang merasa memiliki tanah dapat menggugat pihak yang namanya tercantum dalam sertifikat secara keperdataan ke Peradilan Umum, atau menggugat Kepala BPN/Kepala Kantor Pertanahan yang berangkutan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, atau gugatan yang menyangkut teknis aministrasi penerbitannya.
Gugatan kepada pengadilan tersebut dikarenakan sertifikat mempunyai 2 (dua) sisi, yakni di satu sisi seara keperdataan sertifikat merupakan alat bukti pemilikan, di sisi lain sertifikat merupakan bentuk keputusan yang bersifat penetapan (beschiking) yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan sebagai Pejabat Tata Usaha Negara, yang bersifat beschiking merupakan bentuk pengakuan hak milik atas tanah bagi pemiliknya. Sertifikat yang diterbitkan juga bersifat deklaratoir, yakni keputusan untuk mengakui sesuatu yang telah ada dan diberikan karena telah memenuhi syarat yang ditentukan.
Pendaftaran tanah dengan menggunakan sistem publikasi negatif dilatarbelakangai oleh hukum tanah di Indonesia yang memakai dasar hukum adat, dimana jika seseorang selama sekian waktu membiarkan tanahnya tidak dikerjakan, kemudian tanah itu dikerjakan orang lain yang memperolehnya dengan itikad baik, maka hilanglah hak untuk menuntut kembali tanah tersebut. Asas publikasi negatif tersebut telah dijadikan Yurisprudensi, yakni putusan Mahkamah Agung No. 459/K/Sip/1975 tanggal 18 September 1975, bahwa Mengingat stelsel negatif tentang resgistrasi/pendaftaran tanah yang berlaku di Indonesia, maka terdaftarnya nama seseorang di dalam register bukanlah berarti absolut menjadi pemilik tanah tersebut apabila ketidakabsahannya dapat dibuktikan pihak lain. Ketentuan Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA, menyatakan sertifikat tanah yang diterbitkan berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Namun ketentuan ini belum dapat menjaminnya, karena dalam sistem negatif yang dianut dalam UUPA senantiasa memberikan kesempatan kepada seseorang yang merasa mempunyai hak yang lebih kuat untuk menggugatnya ke pengadilan dengan mengemukakan bukti-bukti yang dimilikinya. Ini berarti sertifikat tanah yang diterbitkan bukanlah alat bukti yang mutlak, sehingga sertifikat bisa dibatalkan. Kelemahan sistem publikasi negatif ini ternyata diakui oleh Penjelasan Pasal 32 PP No. 24 Tahun 1997. Kelemahan ini tentunya mengakibatkan BPN sebagai instansi yang bertanggung jawab menerbitkan sertifikat tidak berupaya maksimal mungkin untuk memperoleh dan menyajikan data yang benar, sehingga kepastian hukum didalam pendaftaran tanah belum menjamin pihak yang tercantum namanya dalam sertifikat sebagai pemegang hak dan sertifikat selalu menghadapi kemungkinan gugatan dari pihak lain yang merasa memiliki tanah. Untuk mencegah terjadinya sertifikat ganda tidak ada jalan lain harus mengoptimalikan administrasi pertanahan dan pembuatan peta pendaftaran tanah. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya sertifikat ganda.
Referensi
Sertifikat Atas Hak Tanah, diterbitkan oleh Sinar Grafika 2011