Prestasi dalam diri manusia
berbeda-beda. Tingkat inteligensi manusia dapat diukur dan dikembangkan.
Prestasi manusia ada yang dibawah rata-rata, sedang, pintar dan jenius.
Seseorang yang memiliki prestasi yang dikatakan hampir sempurna belum tentu dibutuhkan
untuk menjadi seorang pemimpin bahkan seorang jenderal sekalipun. Penilaian
bagi orang yang berprestasi hampir sempurna ini, ternyata adalah kurangnya rasa
empati. Empati adalah kemampuan merasakan dalam diri Anda apa yang dirasakan
orang lain. Rasa empati akan menjadikan kita orang yang peka terhadap
seseorang. Dengan memiliki empati, kita akan terasah untuk memberikan solusi
bagi orang lain. Emotional Quotient ini yang dikembangkan bersamaan dengan
Intelligency Quotient. Perpaduan yang
hampir sempurna ini akan mejadikan diri kita menjadi bahan promosi atau
menjadikan diri kita sebagai sosok pemimpin.
Daniel Goleman di tahun 1995
meyakinkan kita bahwa justru EQ ( Emotional Quotient ) yang memegang peran
lebih penting. Mereka yang memiliki kematangan
EQ mampu memecahkan masalah dan mengatasi masalah emosional dan sosial. Saya
memiliki pengalaman bekerja dengan seorang Master Science. Pada awalnya saya
kurang menerima dengan pekerjaan yang diberikan karena menurut pandangan saya
ataupun orang lain yang kurang paham tidak sesuai dengan Strata yang saya
terima. Dari pengalaman tersebut, saya mengontrol emosi saya dengan bersabar
dan menerima pekerjaan tersebut. Master ini sedang memberikan contoh apa itu IQ
dan EQ. Dalam benak saya saat itu pengetahuan akan science benar – benar diuji.
Kecerdasan, Nalar, Logika, Daya Ingat, Hitungan, Analisa benar-benar diuji. EQ
yang berupa motivasi berprestasi, penempatan diri, empati, kontrol emosi tidak
luput dari ujian. Adaptasi saya dengan beliau memang dirasa kurang. Saat saya
menyadari bahwa itulah pelajaran untuk EQ
dan IQ saya. Bagaimana saya menalar dan berlogika dan mengontrol emosi
saya. Sehingga hasil yang didapatkan adalah memotivasi untuk berprestasi.
Dilain sisi saya mendapatkan
untuk mendaki gunung tertinggi saya membutuhkan SQ (Spiritual Quotient) dan AQ
( Adversity Quotient ). Bentuk dari SQ adalah Keseimbangan hidup, karakter
diri, Dunia-Akhirat, Jasmani-Rohani, Rasionalitas-Spiritualitas, Kejujuran,
Murah hati, Penyayang. Dari pengalaman tersebut karakter diri kita akan
dibentuk. Perasaan emosional yang saya hadapi hampir setiap hari. Saya tuangkan
kepada Tuhan baik dalam perjalanan pergi atau perjalanan pulang. Jangan
membedakan kasih sayang kepada orang lain. Bahkan menurut penilaian orang, intelligensi
saya dalam menghitung diragukan. Kejujuran saya kurang adalah bahwa, jelas
sekali saya mendapat gangguan berupa suara-suara. Menurut logika dan nalar
suara-suara itu memang tidak ada.
Dalah hal AQ yang berupa
kegigihan, semangat tinggi, Endurance, Pantang Menyerah, Quitters,
Campers,Climbers. Dalam hal ini Adversity Quitient kriteria sebagai climbers
paling dicari untuk menjadi orang yang paling depan. Tipikal climbers tidak
mudah putus asa dan tidak takut akan tantangan yang dihadapi. Ia tidak merasa
cepat puas diri, ia dapat melanjutkan perjuangannya sampai ia meraih apa yang
diinginkan. Tidak dapat dipungkiri kegagalan dapat dialaminya, tetapi ia akan
bangkit lagi sampai menuju puncak. Saya ingin mencontohkan climbers ini,
kegagalan yang pernah terjadi tidak akan membuat saya putus asa. Jawaban
kegagalan adalah ketidakmampuan atau ketidakmauan yang akan menjadikan diri
saya the quitters.
Sumber referensi : Dale Carneige Training
& MHMMD